Halaman

Rabu, 08 Februari 2012

Nabi Muhammad Teladan Bagi Pemuda


Bismillahirrahmanirrahim

Dengan keluhuran akhlaq dan ketinggian budi pekertinya, Nabi Muhammad SAW hadir laksana hujan yang menyejukkan di tengah kemarau nan gersang dan penuh debu. Dengan pribadi yang luhur, beliau mengubah peradaban dan dunia yang jahiliyyah menjadi dunia yang penuh cinta dan kasih sayang.
Dari usia belia, Muhammad SAW telah mampu menunjukkan kepada dunia dan peradabannya sebagai pribadi luhur yang kehadirannya mampu meluluhkan hati-hati yang keras, pribadi-pribadi yang angkuh, dan watak-watak yang arogan.
Penggalan-penggalan kisah ini menjadi teladan dan spirit terindah bagi pemuda bangsa yang ingin membangun negeri ini dengan cinta dan akhlaq mulia.
Di usia yang baru menginjak empat tahun, yaitu waktu di bawah asuhan Halimah di Dusun Banu Sa’ad, dengan kehendak sendiri Nabi SAW telah ikut menggembala kambing milik ibu susuannya, Halimah, bersama-sama dengan anak Halimah sendiri.
Sepulang dari Dusun Banu Sa’ad di kota Makkah, beliau pun menggembala kambing lagi. Adapun kambing-kambing yang dikembalanya bukannya kambing sendiri, bukan kambing peninggalan ayahnya, bukan pula kambing milik ibu dan kakeknya, melainkan milik penduduk Makkah.
Selanjutnya, setelah ditinggal wafat oleh ibunya, meskipun waktu itu ada dalam pemeliharaan kakeknya, sementara kakeknya itu seorang ketua dan yang memegang kekuasaan di Makkah, beliau tidak merasa malu untuk bekerja menggembala kambing, atau lebih tegasnya menjadi buruh menggembala kambing, milik penduduk Makkah, dengan menerima upah yang tidak seberapa.
Setelah berusia dua belas tahun, beliau ikut pamannya, Abu Thalib, untuk berniaga ke negeri Syam. Tetapi karena ada hal-hal yang sangat mencemaskan pamannya terhadap diri beliaui setelah bertemu dengan pendeta Nasrani, Bakhira, yang mewasiatkan kepadanya untuk menjaga dengan sehati-hati mungkin keponakannya itu, sejak saat itu sang paman tidak lagi berangkat ke negeri Syam untuk berniaga.
Abu Thalib diam dan tinggal di Makkah. Adapun belanja untuk kepentingan keluarganya dan rumah tangganya didapat dari kekayaan yang tidak seberapa banyaknya.
Ketika itu Muhammad SAW pun hanya hidup dengan sekadar apa yang ada bersama anak-anak pamannya yang lain, sambil mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dikerjakan anak-anak yang sebaya dengan beliau.

Terjun ke Medan PerangSetelah berusia lima belas tahun, beliau ikut ke medan Perang Al-Fijar, yaitu peperangan yang terjadi antara keluarga keturunan Kinanah dan keluarga keturunan Quraisy di satu pihak dan keluarga keturunan Quraisy di pihak lain. Peperangan terjadi di satu tempat bernama Nakhlah, antara kota Makkah dan Thaif.
Perkataan fijar artinya durhaka atau pendurhaka. Dinamakan Perang Al-Fijar karena asal terjadinya dari pelanggaran undang-undang yang suci. Lebih tegasnya, Perang Al-Fijar itu terjadi untuk memerangi orang pendurhaka.
Muhammad SAW ikut ke Perang Fijar karena diajak dan ditarik oleh para pamannya, yang ikut berperang dan yang memegang tampuk pimpinan perang, seperti Zubair bin Abdul Muththalib dan saudara-saudaranya, Abu Thalib, Hamzah, dan Abbas, yang mengepalai barisan golongan Banu Hasyim. Dan yang memegang pimpinan umum kala itu adalah Harb bin Umayyah, karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi serta yang tertua dalam masyarakat bangsa Quraisy pada masa itu, dan dia ini juga yang mengepalai barisan dari golongan Banu Umayyah, dan demikian seterusnya setiap suku dari suku Quraisy mempunyai kepala dan pemimpin sendiri-sendiri untuk menghadapi lawannya, yaitu Banu Qais dan sekutunya.
Peperangan Fijar itu berjalan sampai empat tahun lamanya, kemudian diakhiri dengan perdamaian.
Tentang usia Muhammad SAW kala itu, para ulama berselisih pendapat. Sebagian mengatakan, waktu itu beliau telah berusia lima belas tahun. Tapi sebagian yang lain mengatakan, beliau sudah berusia dua puluh tahun.
Tentang apa yang beliau kerjakan pada waktu itu, para ulama tarikh berselisih pendapat juga. Sebagian mengatakan, beliau hanya bekerja mengumpulkan anak panah yang datang dari pihak musuh ke garis kaum Quraisy, lalu mnyerahkannya kepada para pamannnya untuk dilepas kembali ke arah pihak lawan. Tapi sebagian yang lain mengatakan, beliau juga turut melepaskan anak panah ke arah musuh.
Nabi SAW sendiri pernah menyatakan dengan sabdanya, sesudah beberapa tahun diangkat menjadi nabi dan rasul, "Sesungguhnya aku ikut menghadiri Perang Fijar itu bersama-sama para pamanku dan aku turut melepaskan panah dalam peperangan itu dan aku tidak suka kalau aku tidak berbuat.”
Dalam hadits lain beliau bersabda, "Aku melepaskan anak panah bersama paman-pamanku dengan anak panah musuh yang dilepaskan kepada paman-pamanku."

Anggota Dewan TermudaSesudah bangsa Quraisy ditinggal mati oleh ketua mereka, Hasyim bin Abdul Muththalib, dan ketika itu kedudukan Quraisy sudah mulai jatuh dan merosot di pandangan kabilah-kabilah mereka dan bangsa Arab umumnya, mereka mulai tidak lagi ditakuti oleh kabilah-kabilah Arab lainnya. Lebih-lebih sesudah timbulnya Perang Fijar, tampak sekali kelemahan mereka.
Kelemahan bangsa Quraisy timbul akibat kesalahan mereka sendiri, antara lain dalam masyarakat mereka tidak ada kesatuan dan persatuan yang kuat. Ketua setiap suku keturunan Quraisy sudah terserang penyakit perebutan pengaruh dan kekuasaan sendiri-sendiri, masing-masing hendak memonopoli pangkat kehormatan selaku pengurus rumah suci, Ka`bah, pemegang tampuk pimpinan Masjidil Haram.
Akhirnya, di kota Makkah pada masa itu dapat dikatakan sudah tidak ada keamanan. Kekuasaan pihak Quraisy tidak sanggup menjamin keamanan para penduduk Makkah dan sekitarnya. Dalam lingkungan pemerintahan kota Makkah tidak ada jabatan kehakiman dan kepolisian guna mengadili kesalahan orang yang berbuat salah, guna menjamin serta menjaga kemanan hak milik dan jiwa orang dari gangguan orang-orang yang suka berbuat curang dan sewenang-wenang.
Karena itu, tidak mengherankan jika ada orang yang merasa dirinya memiliki kekuatan dan kekuasaan suka melakukan penindasan kepada orang-orang yang dipandangnya lemah dan rendah. Akibatnya, penganiayaan atas orang-orang lemah di lapisan bawah merajalela, karena orang yang berbuat sewenang-wenang atau menganiaya tidak ada yang mengadili dan menghukumnya.
Maka, atas inisiatif dan usaha beberapa orang Quraisy dari Banu Hasyim, Banu Abdul Muthalib, Banu Abdu Manaf, Banu Zuhrah, dan Banu Taim, yang dipelopori oleh Zubair bin Abdul Muthallib, pada suatu hari diadakanlah pertemuan penting bertempat di rumah Abdullah bin Jud’an At-Taimi, orang tertua dan berpengaruh dalam lingkungan mereka pada saat itu. Adapun yang di bicarakan dalam pertemuan itu berkaitan dengan tidak adanya kehakiman dan undang-undang guna melindungi kepentingan segenap penduduk di kota Makkah dan daerahnya, terutama untuk melindungi kaum yang lemah dan golongan lapisan bawah yang dianiaya oleh pihak yang kuat.
Putusan yang diambil dalam permusyawaratan itu singkatnya sebagai berikut:
“Di kota Makkah dan daerahnya diadakan suatu perserikatan yang bertujuan untuk memulihkan keamanan dan menegakkan keadilan bagi seluruh penduduk kota Makkah dan sekitarnya. Perserikatan itu dinamakan Hilful-Fudhul (Sumpah Utama) dan berpusat di kota Makkah.
Di kota Makkah dan sekelilingnya jangan sampai ada seorang yang dianiaya atau diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang dari bangsa lain. Sekalipun orang asing yang datang dari luar negeri atau orang yang terhitung budak belian, akan dijaga baik-baik semua haknya dari penganiayaan atau perbuatan yang sewenang-wenang, dengan tidak memandang bangsa atau kulit. Barang siapa berani berbuat aniaya atau sewenang-wenang terhadap diri orang lain di kota Makkah dan daerahnya, akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya tersebut. Sekalipun yang berbuat aniaya atau sewenang-wenang itu dari golongan bangsawan Quraisy sendiri.”
Pada waktu itu Muhammad SAW berusia dua puluh tahun. Sekalipun dalam permusyawarahan itu tampak paling muda,  karena sudah dikenal sebagai seorang yang berpikiran cerdas, penyantun, dan berbudi luhur, beliau terpilih menjadi salah satu anggota pengurus perserikatan itu. Dan, pilihan ini beliau terima dengan baik.
Nabi SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya aku telah menyaksikan sumpah yang terjadi di rumah Abdullah bin Jud’an. Aku tidak akan suka menerima pergantian unta yang lebih baik guna menyalahi perjanjian dalam sumpah itu. Dan, jika Islam mengajak dalam perjanjian itu, tentu aku menurut.”

Membuat Khadijah TerpesonaDi kota Makkah terdapat seorang wanita yang terkenal kekayaannya, kebangsawanannya, kemuliaan budi pekertinya, serta keluasan pandangan pikirannya. Ia termasuk pedagang besar di kota Makkah. Dan waktu itu ia sudah menjadi janda, karena suaminya sudah meninggal. Namanya Khadijah, putri Khuwailid dari keturunan Asad bin Abdul Uzza bin Qushayyi. Jadi, kebangsaannya dan kebangsaan Muhammad SAW adalah satu, bahkan silsilahnya sangat berdekatan.
Waktu itu, di antara penduduk Makkah dan sekitarnya, baik laki-laki maupun perempuan, tidak sedikit yang turut menjual barang-barang dagangannya di luar negeri, seperti negeri Syam, Irak, dan lain-lainnya. Barang yang diperdagangkannya bermacam-macam.
Selain itu, ketika itu Muhammad SAW telah terkenal di kota Makkah dan sekitarnya sebagai pemuda yang berbudi luhur, berperangai mulia, dan segala perbuatannya senantiasa berbeda dengan kebiasaan orang lain, terutama para pemudanya. Kelakuan dan perbuatan-perbuatan beliau tidak pernah mengecewakan orang lain, terutama dalam kejujuran.
Beliau digelari “Al-Amin”, yang artinya orang yang dapat dipercaya atau yang jujur. Gelar beliau demikian termasyhurnya sehingga nama asli beliau, yaitu Muhammad, hampir-hampir tidak dikenal orang. Waktu itu beliau kurang lebih sudah berusia dua puluh empat tahun.
Khadijah juga telah mendengar berita bahwa di kota Makkah ada seorang pemuda yang berbudi luhur, berperangai mulia, bertempat tinggal di kampung Bani Hasyim, namanya Muhammad Al-Amin. Ia berada dalam pemeliharaan atau asuhan seorang pamannya yang sudah hampir tua dan tidak mampu, Abu Thalib.
Abu Thalib, yang penghidupannya tidak begitu mampu, senantiasa berusaha mencarikan pekerjaan bagi Muhammad SAW agar memiliki mata pencaharian yang dapat menjadi jaminan hidupnya sehari- hari. Bahkan pada masa itu, Abu Thalib teringat pula akan keadaan dirinya yang sudah agak lanjut umurnya, sementara itu kemenakannya, Muhammad SAW, sudah menjadi dewasa dan sudah masanya pula untuk menikah. Ia sangat memikirkan keadaan beliau.
Perhatian Abu Thalib atas diri kemenakannya sangatlah besar, karena itu ia akhirnya mengambil suatu keputusan dalam hati sanubarinya sendiri bahwa kemenakannya itu sebaiknya berdagang, sebagaimana yang biasa dikerjakan oleh umumnya bangsa Quraisy, juga oleh ayah dan nenek moyangnya dahulu.
Ketika terdengar oleh Abu Thalib berita bahwa kafilah-kafilah Quraisy yang memperniagakan perniagaan Khadijah sudah hampir masanya diberangkatkan ke negeri Syam, ketika itu juga ia berunding dengan saudar perempuannya, Atikah, tentang kemenakannya, Muhammad SAW, bagaimana baiknya agar beliau dapat berusaha mendapatkan penghasilan guna keperluan hidupnya sehari-hari. Abu Thalib berpendapat, sebaiknya beliau berdagang. Dan pendapat ini disetujui oleh saudara perempuannya itu. Akhirnya.
Setelah Muhammad SAW menyetujui saran untuk berniaga, Abu Thalib lalu menemui Khadijah serta mengajukan permohonannya.
Khadijah menerima permohonan itu dengan gembira dan meminta agar Muhammad SAW datang ke rumah untuk mengambil barang dagangan yang akan dibawanya ke negeri Syam, bahkan kala itu Khadijah menjanjikan pembagian keuntungan yang lebih besar kepada beliau bila dagangannya laku lebih banyak.
Berangkatlah Muhammad SAW dari Makkah menuju Syam untuk berniaga.
Sementara itu, Khadijah memerintahkan pelayannya, Maisarah, untuk mengamati apa yang beliau lakukan selama perjalanan pulang-pergi ke negeri Syam serta cara-cara beliau berniaga.
Ternyata, cara Muhammad SAW menjual dagangan itu tidaklah seperti kebanyakan orang. Cara beliau berdagang, berapa harga pokok dari Khadijah beliau sebutkan dengan sebenarnya kepada pembeli. Dan tentang keuntungan bagi beliau, terserah kepada pembeli. Oleh sebab itu para saudagar di negeri Syam senang sekali membeli barang dagangan beliau, karena mereka merasa tidak akan tertipu dalam perkara harga barang yang akan dibelinya.
Maisarah, yang juga melihat cara Muhammad SAW berdagang, pun tercengang.
Dengan cara berdagang seperti itu, dagangan Muhammad SAW habis terjual dalam waktu yang singkat, dengan keuntungan yang banyak.
Sesudah tiba saatnya kafilah-kafilah kembali ke Makkah, di kota Syam, Muhammad SAW bersama Maisarah mencari dan membeli barang yang diinginkan dan dipesan oleh Khadijah. Kemudian, rombongan kafilah itu pulang ke Makkah.
Sesampainya di dekat kota Makkah, Maisarah menyarankan kepada Muhammad SAW untuk langsung menemui Khadijah terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah.
Beliau menerima saran tersebut.
Kedatangan Muhammad SAW di rumah Khadijah disambut dengan hormat dan gembira oleh Khadijah, dan harga hasil perniagaan serta keuntungan yang beliau peroleh diterimanya pula dengan penuh kegirangan.
Khadijah kagum mengetahui peristiwa yang di luar dugaannya itu. Barang-barang perniagaannya telah habis terjual dan memperoleh laba yang besar.
Keesokan harinya Khadijah lebih kagum lagi setelah mendengar laporan dari pelayannya, Maisarah, tentang perilaku Muhammad SAW dan pertemuannya dengan seorang pendeta Nasrani di pasar Bushra.
Di sepanjang perjalanan, perilaku Muhammad SAW selama dalam perjalanan sangat berbeda dengan yang lain. Di antaranya, ketika berhenti di tempat pemberhentian kafilah, beliau tidak suka berkumpul dan beramai-ramai di tempat pemberhentian itu, sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlaku di kalangan orang yang mengikuti kafilahnya. Beliau menyendiri di tempat terpencil.
Ketika Muhammad SAW sampai di kota Syam, turunlah beliau di pasar Bushra, suatu tempat pemberhentian kafilah di kota itu. Di situ, beliau menyendiri dan beristirahat di bawah suatu pohon besar yang letaknya dekat pasar, sambil memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu.
Ketika itu, Maisarah memberanikan diri untuk meninggalkan beliau sebentar, hendak pergi singgah ke tempat seorang kenalannya yang tinggal di dekat pasar itu. Namun, saat baru sampai di tengah-tengah perjalanannya, tiba-tiba Maisarah ditemui seorang pendeta Nasrani bernama Masthura, karena memang pendeta itu sudah kenal dengan Maisarah.
Setelah mengucapkan salam kepada Maisarah, pendeta itu bertanya, “Siapakah pemuda yang duduk di bawah pohon besar itu?”
Maisarah menjawab, ”Pemuda itu bernama Muhammad, berasal dari Tanah Haram (Makkah), ia keturunan Quraisy.”
Selanjutnya sang pendeta bertanya, ”Apakah pada kedua matanya ada tanda merah?”
“Ya,” jawab Maisarah.
“Itu dia, dan dia itulah penghabisan nabi-nabi Allah. Mudah-mudahan aku nanti dapat mengetahui di kala ia diangkat menjadi nabi,” demikian kata pendeta iti.
Selanjutnya sang pendeta berkata, “Tidak ada seorang pun yang berani berteduh di pohon itu melainkan dia adalah seorang yang akan menjadi nabi utusan Allah.”
Kemudian pendeta itu berlari menemui Muhammad SAW di bawah pohon itu. Dan ketika mengetahui sifat-sifat atau tanda-tanda yang ada di wajah beliau, ia seketika itu mencium kepala dan kaki beliau, ”Aku percaya kepada engkau dan aku menyaksikan bahwasannya engkaulah yang telah disebutkan oleh Allah dalam Taurat.”
Kemudian, ia berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah melihat tanda-tanda kenabian yang ada padamu, sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu, tinggal satu tanda yang belum aku lihat, maka  bukalah belikatmu sebentar untuk aku lihat.”
Muhammad SAW mempersilakan.
Setelah melihat belikat beliau, sang pendeta bekata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku menyaksikan bahwasannya engkau itu rasul Allah lagi nabi yang ummi, yang pernah diberitakan dengan kegembiraan oleh Isa ibnu Maryam, karena beliau pernah berkata, ‘Tidak akan turun pada masa kemudian dariku di bawah pohon ini melainkan seorang nabi yang ummi lagi dari bangsa Arab keturunan Hasyim serta berasal dari penduduk Makkah.”
Mendengar cerita itu, Khadijah semakin kagum, bahkan kemudian jatuh hati kepada sosok pemuda Al-Amin. Jiwanya semakin keras berbisik, “Kiranya Muhammad itulah yang menjadi suamiku.... Kiranya Muhammad itulah yang selama ini aku idam-idamkan.... Di manakah aku mendapat seorang pria baik dan istimewa selain Muhammad....”
Hingga akhirnya Khadijah pun tak mampu lagi menahan gejolak yang ada dalam hatinya. Ia pun mengutus budak perempuannya agar menemui Muhammad SAW untuk menyampaikan maksud hatinya itu.
Gayung bersambut. Muhammad SAW pun menerima maksud hati Khadijah.

Hakim yang Adil
Ketika Muhammad SAW berusia kurang lebih 35 tahun, kota Makkah ditimpa bencana air bah yang sangat hebat. Ka`bah, yang selama 200 tahun tidak pernah mengalami kerusakan dan tidak pernah diperbaiki lagi, tenggelam dan kemudian roboh oleh air yang besar itu.
Selanjutnya disepakati bahwa pembagunan Ka`bah dilakukan secara bersama-sama oleh semua pembesar Quraisy di bawah pimpinan Walid bin Mughirah.
Setelah pembangunan Ka`bah itu selesai, dan tinggal meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula, yaitu pada pojok dinding yang di sebelah timur, terjadilah perselisihan di antara para pembesar Quraisy: siapakah yang berhak mengerjakannya.
Perselisihan mereka itu terjadi dari perselisihan mulut sampai menjadi pertengkaran hebat, yang hampir-hampir menimbulkan pertumpahan darah. Setiap mereka mengaku lebih berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat semula, dan tidak ada seorang pun yang mau mengalah.
Pertengkaran terus-menerus terjadi selama lima hari lima malam sehingga mereka berpecah belah, bahkan nyaris terjadi pertumpaha darah.
Di tengah perpecahan itu tampillah Huzaifah bin Mughirah, seorang tokoh tertua dari bangsawan Quraisy, untuk meredakan pertikaian yang semakin memuncak. Ia mengumpulkan semua tokoh pembesar Quraisy di samping Ka`bah yang baru usai dibangun. Di akhir pidatonya ia mengatakan, persoalan itu harus diserahkan kepada seorang hakim yang adil yang dipilih dan disepakati sendiri oleh mereka. Adapun cara memilihnya, barang siapa pada besok harinya paling dahulu masuk ke dalam Masjidil Haram melalui pintu Bani Syaibah, dialah yang akan ditunjuk sebagai hakim yang diserahi untuk memutus perkara yang tengah diperselisihkan.
Keesokan harinya, Muhammad SAW-lah yang lebih dahulu masuk ke dalam Masjidil Haram. Maka pada hari itu juga para pembesar Quraisy berkumpul di Ka`bah dan dengan suara bulat pula akhirnya memutuskan bahwa orang yang berhak meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semua adalah Muhammad Al-Amin.
Keputusan mereka itu pun beliau terima dengan lemah lembut, sopan santun, dan rendah hati. Kemudian beliau pun memecahkan perkara yang diperselisihkan itu denga seadil-adilnya, sehingga memuaskan mereka masing-masing dan dapat memadamkan api permusuhan yang telah timbul di antara mereka.
Saat itu Muhammad SAW meminta sehelai kain dari mereka, kemudian kain itu dihamparkan. Lalu Hajar Aswad beliau letakkan di atas dan di tengah-tengahnya. Kemudian para pembesar Quraisy dimintanya supaya bersama-sama dan beramai-ramai memegang dan mengangkat kain itu ke tempat Hajar Aswad akan diletakkan. Setelah itu, Hajar Aswad itu diambil oleh beliau dan diletakkan pada tempatnya semula.
Hal itu diterima oleh para pembesar Quraisy dengan penuh kegembiraan yang tak terhingga, mereka masing-masing merasa puas atas keputusan Muhammad SAW.

UNDANGAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

HADIRILAH MAULID NABI MUHAMMAD SAW DI HABIB SYEKHAN BIN MUSTHOFA AL-BAHAR (WAN SYEKHAN)  SABTU MALAM MINGGU, 11 FEBRUARI 2012 BA'DA ISYA

ALAMAT : JL. BINTARA JAYA Gg. NANGKA (SEBRANG POM BENSIN BINTARA JAYA) BEKASI BARAAT

Jumat, 04 November 2011

Manakib Syekh Nawawi Al-Bantani





As-Syeh MUHAMMAD NAWAWI
AT-TANARA AL BANTANI

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tid
ak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekhasal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai lama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila SYEKHHasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali SYEKHHasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan SyekhAhmad Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekhagar proses pembelajaran dengan Syekhtidak mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.

Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.

Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.

Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.

Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.

Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.

Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.

Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.

Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.

SUmber http://www.al-hasani.com/melayu/index.ph p?


Rabu, 02 November 2011

Keutamaan Ilmu

Oleh: Sofyan Hadi, S.Pd.I

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على اشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله واصحابه اجمين
(امّا بعد)

Mempelajari Ilmu atau mengajarkan ilmu merupakan sarana ibadah yang mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah yang paling utama. 

Banyak Dalil yang menyatakan keutamaan ilmu sebagaimana firman Allah swt dalam surat  Ali Imron ayat 18:
شهد الله انّه لا إله إلاّ هو والملئكة وأولوا العلم قائما بالقسط  لا إله إلاّ هو العزيز الحكيم
Artinya: "Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha bijaksana" (Q.S. Ali Imron: 18)
ayat tersebut Allah memulai dengan diri-Nya kemudian para malaikat setelah malaikat adalah orang berilmu yang menegakkan keadilan, cukuplah ini menandakan keistimewaan orang berilmu.
dan Allah swt berfirman:
يرفع الله الذين ءامنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات
Artinya: Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Allah swt juga berfirman:
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
Artinya:  Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar: 9)
sungguh tidak akan sama antara orang yang 'aalim dengan orang yang jaahil selama-lamanya, dunia maupun akhirat, Allah mengutamakan orang-orang berilmu di atas orang-orang yang tidak berilmu dengan beberapa derajat, dari Ibnu Abbas r.a. berkata: 
يرفع الله العلماء يوم القيامة على سائر المؤمنين بسبعمئة درجة، ما بين الدرجتين مسيرة خمسمئة عام
"Allah akan mengangkat derajat Ulama atas sekalian mukminin dengan 700 derajat, dan antara derajat bagaikan lima ratus tahun perjalanan"  

Subhanallah.....! 'Aajiiib........ 
kenapa begitu mulia derajat orang-orang berilmu??? mau taaahuuuu!!!!??? mau tahuuuu!!!???
Jama'ah pembaca yang dirahmati Allah swt. 
al-Habib zein bin smith mengatakan: "karena ilmu adalah pokok dari segala ibadah, asal dari segala kebaikan dan kebodohan adalah pokok dari segala kejahatan dan asal dari segala bala.

Al-Habib al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad r.a mengatakan: "kebodohan itu asal dari segala kejahatan dan tempatnya segala marabahaya, orang-orang yang bodoh secara umum termasuk dalam apa yang telah disabdakan Nabi Muhammad saw: 
الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها، إلاّ ذكر الله وما والاه، وعالما ومتعلّما
"Dunia itu terlaknat, terlaknat dengan apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali mengingat Allah dan yang semacamnya (Ibadah), 'Aaalim dan Muta'aaliim (Pelajar)"

Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata: "tidak ada musuh yang paling jahat melainkan kebodohan, dan seseorang itu musuh bagi kebodohannya"

orang yang bodoh sering meninggalkan keta'atan dan melakukan maksiat, karena mereka sesungguhnya tidak tahu apa itu keta'atan yang diperintahkan Allah swt, dan apa itu maksiat yang dilarang oleh Allah swt. tidaklah seseorang dapat keluar dari gelapnya kebodohan melainkan dengan cahaya ilmu.

الجهل نار لدين المرء يحرقه                والعلم ماء لتلك النار يطفيها
"Kebodohan itu bagaikan api yang membakar agama seseorang 
                   sedangkan ilmu itu bagaikan air yang dapat memadamkan api tersebut"

Wallahu a'lam bisshowab

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

dikutip dari Kitab Al-Manhaj As-Sawiy (syarh usul thariqoh Aali baa'alawiy) hal: 77- 78

Selasa, 01 November 2011

salam Bloger

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

segala puji bagi Allah swt Tuhan semesta alam yang telah memberikan kita nikmat
Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw

para pembaca yang dirahmati Allah swt... blog ini dibuat guna untuk berbagi informasi, artikel-artikel yang mudah-mudahan dapat menambah khazanah pengetahuan kita semua...

selanjutnya penulis memohon kritik dan saran apabila ada kesalahan yang penulis sampaikan pada blog ini.

demikian dan atas partisipasinya kami ucapkan terimakasih

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته